Selasa, 15 Januari 2013

Bagi Rapot

Rapot..eh.. repot...eh report yang bikin repot, begitulah nama secarik berkas yang dibagiin ke setiap siswa tiap akhir semester, ditambah 2x di tengah semester yang disebut rapot bayangan. Kalo baca status di twitter dan pesbuk, banyak banget ortu yang mengekspresikan perasaannya terhadap isi rapot anaknya melalui status mereka. Tentunya status untuk rapot yang bagus... nggak ada yang posting gini, misalnya :
"Alhamudillah, rapot si adek ada merahnya 2...."
"Alhamdulillah, ternyata si adek harus belajar lagi karena nilai-nilainya kurang"
atau sejenis itu lah..
Setelah ambil rapot tentunya liburan dong...
Nah.. ceritanya aku telpon adik iparku yang di Jakarta, biasaa... ngajak libur berjamaah.. Setelah berbasa-basi dikit, akhirnya obrolan nyampe juga ke soal rapot ini...
"aduh mbak.. ini anak-anak gimana ya.. rapotnya jelek-jelek..", keluh adik iparku di Jkt.
sapa yang jelek rapotnya mbak?"
"Rapot kakaknya tuh.. kalo adeknya nilainya nggak jelek-jelek amat sih, cuma gurunya ngeluh, katanya di skul banyak problem nih.."
Oh, gitu.. ya ndak apa-apa kan mbak.. namanya juga masih anak-anak. Mereka kan baru kelas 1 dan kelas 3 SD.
"Iya.. sih.. tapi ini nilainya banyak yang merahnya.."
Merah?
"Lha kalo sekarang kan ada yang namanya KKM (kriteria kecukupan materi). Nah ibaratnya nilai anak itu dibawah KKM, itu kan berarti merah mbak.."
Oh, gpp mbak, wong anakku juga kemaren rapotnya ada juga yang di bawah KKM
"berapa pelajaran mbak?"
Dua...
"oooh mending dua, lha si kakak ini 4 mata pelajaran.. apa nggak pusing gue...!!"
Ooh.. gitu yak.. ? Gpp meureun, anak laki-laki kan suka males belajar.. nanti juga kalo dah gede insap sendiri..
Trus obrolan berlanjut sama topik laen-laen. Selesai nutup telpon aku mikir-mikir.. Heran juga ya.. kok aku nggak cemas, kecewa atau gelisah pas kemaren ambil rapot Bilal, ternyata ada 2 yang nilainya di bawah KKM. Sang guru bilang bahwa nilai tersebut masih ditulis pake pensil, artinya mungkin karena ada tugas yang belum dikumpulkan sehingga nilainya kurang. So, nanti setelah liburan anaknya diminta menghubungi guru ybs. Gitu..
Lagian pula.. aku malah nggak sempet, nggak inget dan nggak pengen tanya-tanya soal ranking. Lha wong waktu ambil rapot aku lakukan secepat mungkin.
Mungkin terbawa kebiasaan sewaktu Bilal SD dulu, di Sekolah Alam, dimana setiap pembagian rapot, aku hampir tidak pernah membuka rapot yang berisi nilai-nilainya, tapi lebih banyak ngobrol dengan guru soal perilaku, sikap dan masalah dia di sekolah. Sehingga aku nyaris nggak peduli tentang nilainya secara angka dan rankingnya. Lagian di sekolah alam memang nggak ada ranking-ranking-an.
Aku juga teringat dulu... banget, waktu Kakak Bilal masih  di kelas 2 SD, sebelum pindah ke Sekolah Alam. Sekali waktu aku mengambil raport kakak.. sang guru banyak memberikan masukan dan petuah, misalnya :
"Ibu.. sebetulnya bilal itu masih bisa dikembangkan secara optimal, hanya anaknya terlalu cuek. Kalo misalnya mau diarahkan belajar, mungkin saya rasa bisa masuk 5 besar."
Tanggapan aku...
"Aaah biarin aja bu.. dia kan masih kecil, baru kelas 2 SD. Perjalanannya masih panjang. Saya memang nggak maksa-maksa dia belajar. Saya biarkan saja, yang saya pantau lebih kepada pergaulan dan perkembangan kepribadiannya".. kira-kira begitulah jawabanku dulu.. Jawaban khas ibu-ibu yang suka ngeles dan males mantau PR anaknya....
Eeh.. karena jawabanku kayak gitu.. akhirnya sang bu guru ikutan menjawab...
"Iya ya bu.. masih panjang perjalanannya.. mudah-mudahan kesananya jadi lebih baik".
He..he.... dasar emak-emak males...
Begitulah sikapku sejak Bilal SD, sehingga dengan demikian, aku nggak pernah pusing saat bagi raport. So far, kebetulan, Alhamdulillah.. nilainya nggak jelek-jelek amat, meskipun aku nggak paksa-paksa dia buat belajar di rumah. Apalagi ambil les-lesan segala rupa... No Way...!! Selain nggak punya duitnya (naah itu dia kayaknya alesan utamanya), kasian juga anaknya, capek meureun mun ngiluan sagala rupa les.
Waktu itu, prinsip aku, aku nggak akan masupin Bilal ke segala macem les, kecuali les musik atau les olahraga (kalo dia mau). So, sekalinya aku maksa les ke Bilal, yaitu les berenang. Selain itu, Bilal sendiri yang memutuskan untuk masuk sekolah sepak bola ketika usianya 8 tahun.
Sikap cuek ini sangat kondusif ketika bilal masuk sekolah alam 5 tahun yang lalu. Sekolah yang nyaris nggak pernah ada PR atau tugas yang harus dibawa ke rumah. Sekolah yang nyaris anak-anak nggak pernah bawa buku pelajaran ke sekolah, kecuali satu buku tulis yang diisi dengan semua pelajaran. Setiap bagi raport, aku sama sekali nggak pernah tanya-tanya nilai. Bagian terpenting yang aku tanyakan adalah, apakah semester ini Bilal ada masalah? Misalnya masalah dengan temannya, dengan guru, dan sebagainya. Jadi aku lebih senang mendengar pendapat atau  masukan guru soal perilakunya.... Soal nilai.. ya biarlah.. yang penting nggak jelek-jelek amat.
Tapi, tanpa bermaksud "besar kepala", aku bener-bener berusaha konsisten menerapkan aturan "asal nggak jelek-jelek amat" kepada Bilal, karena aku nggak ingin dia terbebani sama pelajaran sekolah yang menurut aku memang kebangetan njelimetnya, sehingga kehilangan "kesenangan" masa kanak-kanak yang udah pasti tidak bakal terulang. Sewaktu bilal kelas 1 sampe kelas 3 SD, aku cuma mengingatkan dia untuk berusaha konsentrasi di sekolah, terutama waktu guru nerangin. Aku jelaskan, bahwa dengan konsentrasi, minimal dia sudah setengah belajar. Setengahnya lagi cukup dibaca sekali menjelang ulangan. Kadang-kadang ada juga kecemasan melihat cueknya Bilal sama belajar. Tapi kadang-kadang aku suka ngetes Bilal sambil lalu aja, misalnya ajak diskusi, ajak itung-itungan biasa sambil lalu, ajak mbahas bahasa Inggris sambil lewat. Dari hasil test kecil-kecilan tersebut aku simpulkan bahwa Bilal itu nggak parah-parah amat, meskipun tidak terlalu amazing. So.. aku nggak terlalu khawatir, minimal naek kelas laaah...
Pernah juga terjadi konflik batin waktu Bilal kelas 6 SD. Antara ingin memasukkan dia ke sejenis Bimbel atau membiarkan dia menghadapi UN apa adanya sesuai dengan program dari sekolah.  Tetapi, ternyata, pas kelas 6 menjelang UN tersebut, Bilal malah banyak pertandingan dan lagi ngetop-ngetopnya maen bolanya.  Seminggu bisa lebih dari 3x latihan bola. Jadi akhirnya aku biarkan saja dan mencoba percaya dengan program yang sudah dicanangkan oleh gurunya.  Keliatannya bilal santai-santai saja. Tiap hari pulang pergi sekolah, tidak ada buku-buku khusus di sekolahnya. Sesekali aku tanya..."Nak, di sekolah suka latihan  ulangan nggak?" .  Jawabnya.. "tiap hari bu.. ampe bosen..".. Tapi caranya menjawab tuh cukup santai.  Aku belikan juga beberapa buku latihan soal UN, tapi hanya dicolek-colek dikit. 
Bukan berarti aku nggak deg-degan loo, tetep deg-degan menghadapi UN. Tapi sekolahnya sudah punya strategi. Pertama, mengikutkan semua anak pada ujian paket A, jaga-jaga kalo nggak lulus UN, toh mereka sudah dianggap lulus SD.  Hasilnya, semua anak lulus ujian paket A.  Kedua, melatih mereka tiap hari, mengkondisikan situasi UN, tapi latihan ini baru intensif sekitar 4 bulan menjelang UN.  Ketiga.. menanamkan sikap kejujuran, bahwa apapun hasilnya, pokoknya nggak boleh menyontek selama UN.  Terakhir, tentunya kebijakan Sekolah Alam untuk menerima murid Sekolah Lanjutan (setara SMP) meskipun mereka tidak lulus UN. Artinya, kalopun nggak lulus UN, ya nanti masup sekolah alam lagi...
Dengan kondisi tersebut, the worst scenario nya adalah masuk SMP di sekolah alam lagi (meski sempat puyeng mikirin duitnya). Tapi, aku percaya anakku bisa, meski mungkin tidak sehebat anak-anak lain nilainya. Kalaupun lulus dengan nilai yang tidak terlalu hebat, misalnya, aku akan carikan SMP mana yang mau nerima, tidak harus SMP Negeri, misalnya kakak Bilal nggak mau di sekolah alam lagi. 
So, dengan pikiran tersebut, aku merasa tenang mendampingi kakak mau UN. Tidak ada persiapan khusus, misalnya dengan mengurangi jam kerja  (banyak temen-temen yang melakukannya, katanya supaya fokus buat anaknya UN), atau laen-laen. Saat Bilal UN, aku nglayap seperti biasa, yang penting doanya. Singkat kata, kaka Bilal mengikuti UN dengan selamat, maksudnya selamat nggak terlibat insiden penyontekan apapun.  Gurunya selalu datang mengawasi untuk meyakinkan bahwa anak-anak nggak ada yang nyontek. Oh ya.. karena masalah perijinan yang belum beres, Sekolah Alam belum boleh bikin UN sendiri, maka UN harus nebeng ke sekolah laen. Untuk itu, anak-anak perlu dilatih "pembiasaan" UN, yang mungkin menurut anak-anak sekolah laen sih biasa-biasa aja, misalnya bagemana duduk rapi di meja (biasanya mereka duduk suka-suka di sekolah alam, ada yang duduk di tangga, di kebon, di sawah, tiduran, dlsb), mengenakan seragam (laaah selama di sekolah alam, nggak kenal seragam), menggunakan sepatu (ini juga perkara ribet, selama di sekolah alam, nggak perlu pake sepatu), dan membawa alat-alat tulis dengan rapi (ribet juga, selama di sekolah alam, mereka membawa alat tulis seperlunya).  Latihan ini dimulai sekitar 4 bulan sebelum UN dan ketika  UN anak-anak tampaknya sudah lebih siap bermigrasi ke kultur yang berbeda tersebut. Hal lain yang bener-bener dijaga oleh gurunya adalah bagemana untuk menghidari nyontek. UN dilakukan nebeng ke SD terdekat, SD Darul Hikam. 
Hasilnya? Lumayan.... temen kakak meraih nilai juara 3 untuk seluruh peserta UN di SD tersebut  (ada sekitar 150 an peserta), dan konon kakak meraih juara ke 12 atau 15 gitu laah.. so tidak jelek-jelek amat. Tapi nilai UN ini sebenarnya, untuk kasus kakak, merupakan salah satu alternatif untuk ke SMP. Karena, sekitar sebulan sebelum UN, kakak sudah memantapkan diri ingin menempuh jalur test prestasi ke SMP yang diincarnya karena prestasi bermain bola. Kakak tidak berminat meneruskan ke Sekolah Alam lagi karena menurut kakak "Permainan bola-nya belum mendapat perhatian".  So, kakak serius mencari SMP yang cukup memperhatikan bola. Pilihannya jatuh ke SMPN 44, karena menyediakan jalur masuk prestasi bermain bola dan banyak diantara teman-teman kakak sesama pemain bola anak-anak sekolah di SMP tersebut, plus juga, dekat lokasinya. 
Maka, seminggu sebelum pengumuman UN, kakak sudah sibuk menyiapkan berbagai administrasi dan mengikuti seleksi test jalur prestasi. Tesnya sendiri sederhana, yaitu mengumpulkan semua berkas prestasi (misalnya piagam, piala, dlsb, kalo nggak ada pialanya, ya kudu pinjem dulu), dan mengikuti test ketrampilan sesuai bidang. Jadi kalo maen bola, ya testnya  maen bola.  Dua hari sebelum nilai UN diumumkan, kakak sudah menerima kabar soal hasil test jalur prestasi. Jadi, kalo misalnya gagal jalur prestasi, kakak tetap berpeluang ikut seleksi berdasarkan nilai UN. Alhamdulillah, ternyata kakak diterima melalui jalur prestasi, dan juga, ternyata nilai UN nya juga nggak jelek-jelek amat.
So, prinsipku... kalo bisa mencapai hasil yang sama dengan cara yang "ringan", ngapain juga harus menyiksa anak untuk mencapai hasil tertentu... Bukan berarti kakak Bilal nggak kerja keras lhoo.. ketika Kakak Bilal memutuskan serius menekuni maen bola, aku cuma menasihatkan, bersungguh-sungguh, kerja keras, karena itu bisa dijadikan "modal" untuk survive.
Sampe sekarang, aku tetap menerapkan prinsip yang sama. Tiap bagi raport, aku nggak terlalu perduli dengan nilainya. Kalopun ada yang di bawah KKM, paling aku tanya, masalahnya apa? Nilai di bawah KKM tidak selalu karena nilai anak yang jelek, beberapa penyebab misalnya belum mengumpulkan tugas. Untuk kasus kakak Bilal, aku tanya apa penyebabnya kok dia belum ngumpulin tugas, alesannya belum sempet karena sibuk ikut turnamen dan banyak dispensasi. Oooh.. panteslah.. ..!! Jadi aku bilang, ya sudah.. susulkan saja tugasnya, bilang minta maaf ke gurunya dan jelaskan kamu sibuk turnamen.  So far, hubungan Kakak Bilal dengan gurunya baek-baek aja. Kadang-kadang,pas semasa musim ulangan, sekali dua kali sempat aku tanya, "Bagemana nilai ulangan kamu?". 
Jawabnya : "Lumayan bu.. ulangan anu dapet 75, ulangan ini dapet 80.. "
Oooh, bagus atau jelek  nilai segitu?
Lumayan bu.. banyak juga yang dapet dibawah 60, kadang-kadang yang dapet di atas 70 cuma ber lima atau berenam...
Kadang-kadang aku sedikit memicu :
Bisa nggak kamu tingkatin supaya dapet 85 gitu?
Yaah dicoba laah.. tapi dapet 75 atau 80 juga lumayan lah bu.. susah segitu juga buat pemain bola maaah..
Oke .. oke... ibu terima laah.. Trus kenapa itu IPS dapet cuma 60?
Eeeh soalnya Bilal nggak kebagian buku paket, jadi cuma ngandelin catetan, susah bu IPS nya.. bukan sejarah biasa, tapi yang soal kemerdekaan gitu.. Bilal pusing ngingetinnya..
Oooh gapapa deh.. nanti ibu cariin bukunya.. (dalam hati.. sama.. ibu juga dulu pusing nak pelajaran yang satu itu).
Trus kenapa matematikanya  kok minim gitu nilainya, cuma 60 juga...
Ooh.. Bilal jarang latihan bu...
Ya.. dicoba atuh latihan.. coba aja paling-paling 30 menit sehari.. atau ngiseng-ngiseng pas ganti pelajaran di sekolah.. kerjain 2-3 soal gitu.. 
Ya.. paling paling segitu doang usaha yang aku lakukan untuk 'meningkatkan" nilainya. Selebihnya, aku pasrah dan percaya, bahwa kakak Bilal tuh nggak jelek-jelek amat...So, nggak ada salahnya percaya dengan kemampuan anak sendiri, terutama percaya bahwa dia bisa mengatasi masalah dengan caranya sendiri.

Tidak ada komentar :